sebuah puisi yang patut dibaca…
Oleh Taufiq Ismail
Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,
Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya
apakah ada buku tuntunan cara merokok,
Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk
orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,
Negeri kita ini sungguh nirwana
kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat
bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,
Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,
Bercakap-cakap kita jarak setengah meter
tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun
menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut
dan hidungnya mirip asbak rokok,
Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul
saling menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya
mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya
ketimbang HIV-AIDS,
Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu,
Bisa ketularan kena,
Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,
Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil,
pertandingan bulutangkis,
turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,
Di kamar kecil 12 meter kubik,
sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat
dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh,
dengan cueknya,
pakai dasi,
orang-orang goblok merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup
bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,
Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk
kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
ke mana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka
memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda
yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz.
Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan,
Di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum.
Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol,
sudah ada babi,
tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
Lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan,
jangan,
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir.
Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap,
dan ada yang mulai terbatuk-batuk,
Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok
lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas,
lebih gawat ketimbang bencana banjir,
gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,
Pada saat sajak ini dibacakan,
berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,
Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana
dalam nikmat lewat upacara menyalakan api
dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,
Rabbana,
beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
Friday, May 29, 2009
Friday, January 09, 2009
Uban...
"Yah, Ayah ubanan..." celetuk putri sulungku "ada satu, dua, tiga, ... empat..." dia menghitung sampai jari mungilnya terasa menyentuh rambutku "tak cabut ya Yah...?"
Aku tersenyum, " Jangan... biarkan saja..."
"Kenapa?"
"Anakku, uban itu salah satu pertanda yang diberikan Allah untuk mengingatkan manusia akan kematian... jadi kalo kamu mau melakukan sesuatu, ingatlah uban ayah ini, supaya kamu tidak menyia-nyiakan waktumu, tidak menyia-nyiakan usaha ayah untuk memenuhi kebutuhan hidup kita, karena semakin banyak uban ayah berarti semakin dekat ayah dengan kematian..."
Anakku termenung...
"Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan datang, bisa 20 tahun lagi, bisa seminggu lagi, bisa sehari lagi, atau mungkin malam ini ayah akan menemui kematian... Karena itu berbuatlah yang terbaik sehingga menyenangkan hati ayahmu... Jadilah anak yang solehah dan pintar... Ayah tidak menuntut kamu untuk ranking satu, cukuplah kamu menjadi anak yang rajin... rajin belajar, rajin bekerja... jadilah contoh untuk adik-adikmu..."
Aku tersenyum, " Jangan... biarkan saja..."
"Kenapa?"
"Anakku, uban itu salah satu pertanda yang diberikan Allah untuk mengingatkan manusia akan kematian... jadi kalo kamu mau melakukan sesuatu, ingatlah uban ayah ini, supaya kamu tidak menyia-nyiakan waktumu, tidak menyia-nyiakan usaha ayah untuk memenuhi kebutuhan hidup kita, karena semakin banyak uban ayah berarti semakin dekat ayah dengan kematian..."
Anakku termenung...
"Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan datang, bisa 20 tahun lagi, bisa seminggu lagi, bisa sehari lagi, atau mungkin malam ini ayah akan menemui kematian... Karena itu berbuatlah yang terbaik sehingga menyenangkan hati ayahmu... Jadilah anak yang solehah dan pintar... Ayah tidak menuntut kamu untuk ranking satu, cukuplah kamu menjadi anak yang rajin... rajin belajar, rajin bekerja... jadilah contoh untuk adik-adikmu..."
Tuesday, November 25, 2008
hatziiii...
hatziiii... eh...ehm...
lama kali nih ndak nengok laman blog ini...
maksud hati sih, nulis, nulis, nulis... menuangkan banyak unek-unek, tapi saatnya menulis buntu deh... malah kepikiran yang laen-laen...
semoga besok-besok semakin rajin nulis, biarpun ndak bermutu, pokoknya nulis...
soalnya dulu waktu kecil pernah juga punya cita-cita jadi penulis atawa penyair di antara segudang cita-cita yang terasa mustahil untuk diwujudkan, maklum cita-cita anak ingusan yang tidak tahu tingginya langit dalamnya samudera... (emangnya sekarang sudah tahu... hik... hik... sok ah...)
ehm... jadi inget waktu masih pake seragam celana abu-abu... ngalahin adiknya Timur Sinar Suprabana, sastrawan dari Semarang yang terkenal itu..., ketika mbuat puisi saat kelas miting... he... he... walaupun juara 2, soalnya sang juara 1 adalah kakak kelas yang sudah malang melintang di media cetak... (apa kabar Bang Khoibar Nustar HS...? mungkin sudah lupa sama saya ya... maklum deh saya ndak ada tampang coper boi...)
atau waktu juara 1 mbuat kartun (hiks lumayan punya bakat nyeni juga... menurut saya lho...) ngalahin temen yang sudah biasa ngupload kartun di media cetak...
hah, setelah masa-masa itu semuanya terkubur dalam kesibukan mempertahankan hidup supaya setidak-tidaknya bisa menegakkan badan... sampai sekian tahun terlewat...
dan sekarang terasa begitu beratnya menumbuhkan lagi kepercayaan diri untuk sekedar mewujudkan ide atau apapun yang kebetulan terpikir... benar-benar tumpul... atau berkarat kali...
inilah pedang tua yang sudah nyaris lapuk digilas kerasnya kehidupan... hingga untuk dicabut dari sarungnya pun sudah harus dengan segenap tenaga...
subhanallah, sekarang mudah-mudahan masih ada sisa-sisa semangat untuk sekedar merontokkan karat, sukur-sukur bisa mengasah pedang tua ini menjadi sedikit lebih tajam meskipun hanya bisa untuk memotong tahu...
yah, sudah...sudah... malah jadi sentimentil gini...
pokoknya saya harus nulis... nulis... nulis...
lama kali nih ndak nengok laman blog ini...
maksud hati sih, nulis, nulis, nulis... menuangkan banyak unek-unek, tapi saatnya menulis buntu deh... malah kepikiran yang laen-laen...
semoga besok-besok semakin rajin nulis, biarpun ndak bermutu, pokoknya nulis...
soalnya dulu waktu kecil pernah juga punya cita-cita jadi penulis atawa penyair di antara segudang cita-cita yang terasa mustahil untuk diwujudkan, maklum cita-cita anak ingusan yang tidak tahu tingginya langit dalamnya samudera... (emangnya sekarang sudah tahu... hik... hik... sok ah...)
ehm... jadi inget waktu masih pake seragam celana abu-abu... ngalahin adiknya Timur Sinar Suprabana, sastrawan dari Semarang yang terkenal itu..., ketika mbuat puisi saat kelas miting... he... he... walaupun juara 2, soalnya sang juara 1 adalah kakak kelas yang sudah malang melintang di media cetak... (apa kabar Bang Khoibar Nustar HS...? mungkin sudah lupa sama saya ya... maklum deh saya ndak ada tampang coper boi...)
atau waktu juara 1 mbuat kartun (hiks lumayan punya bakat nyeni juga... menurut saya lho...) ngalahin temen yang sudah biasa ngupload kartun di media cetak...
hah, setelah masa-masa itu semuanya terkubur dalam kesibukan mempertahankan hidup supaya setidak-tidaknya bisa menegakkan badan... sampai sekian tahun terlewat...
dan sekarang terasa begitu beratnya menumbuhkan lagi kepercayaan diri untuk sekedar mewujudkan ide atau apapun yang kebetulan terpikir... benar-benar tumpul... atau berkarat kali...
inilah pedang tua yang sudah nyaris lapuk digilas kerasnya kehidupan... hingga untuk dicabut dari sarungnya pun sudah harus dengan segenap tenaga...
subhanallah, sekarang mudah-mudahan masih ada sisa-sisa semangat untuk sekedar merontokkan karat, sukur-sukur bisa mengasah pedang tua ini menjadi sedikit lebih tajam meskipun hanya bisa untuk memotong tahu...
yah, sudah...sudah... malah jadi sentimentil gini...
pokoknya saya harus nulis... nulis... nulis...
Monday, August 27, 2007
Logo
Baru sampai di hotel yang sederhana di pinggir pantai, di sebuah kabupaten yang baru dibentuk, telepon berdering.
“Mas, ngimpi apa semalem?”
“Wah, ndak ngimpi apa-apa tuh…”
“Sampeyan menang lomba logo lho...”
Sepenggal dialog dengan Mas Tugiran dari Biro Hukum dan Humas masih terngiang di telinga sepanjang perjalanan yang cukup melelahkan dari Bombana ke Kendari.
Siang itu aku harus berpacu dengan waktu mengejar pesawat terakhir menuju Jakarta.
Menang lomba logo yang diadakan kantor untuk mengganti logo yang lama adalah sebuah kejutan yang mendebarkan. Bagaimana tidak? Logo akan terpampang di kop surat, di dokumen-dokumen, di unit-unit organisasi, uh.. banyak orang akan melihat, menilai, mengomentari….
Duk, sebuah guncangan yang cukup keras, di antara begitu banyaknya guncangan di sepanjang jalan yang kondisinya memprihatinkan, memecah lamunanku. Heeemh… aku menghembuskan nafas panjang, berusaha meringankan beban yang menyesak di dada.
***
“Mas, wawancara ya buat Warta?” tanya Mas Ardhi, wartawan Warta Pengawasan, sambil melorotkan kacamatanya.
“He..he.., saya ini ndak bisa ngomong Mas.. apalagi diwawancarai..” aku berusaha ngeles, karena jujur saja aku tidak ingin diwawancarai untuk sebuah publikasi terkait dengan kemenangan ini.
“Ayolah, sekedar mengungkapkan kesan saja..” sambung Mas Tugiran, sang wartawan murah senyum.
Wah, ini dia, justru mengungkapkan kesan ini hal yang paling sulit. Kan, ini menyangkut perasaan di luar dari yang biasanya..
Apa mau dikata, akhirnya harus kujalani juga wawancara ini….
***
“Bagaimana perasaan waktu menerima kabar kalau sampeyan menang?”
“Apa ada firasat untuk menang?”
Waduh, bagaimana menjawabnya? “Biasa aja Mas...” jawabku.
Biasa bagaimana? Lha iyalah, kalau hanya kabar menang sih sudah biasa, kan waktu membuat logo dengan harapan untuk menang, walaupun berdebar-debar juga.
Tapi sebenarnya yang paling berkesan adalah ketika logo dibuka saat acara seremonial ulang tahun. Uh, perasaan bercampur baur tak karuan….
Ada perasaan haru, karena hasil karyaku dengan disaksikan banyak orang dibuka Kepala BPKP sambil diiringi suara sirine dan gamelan Bali….
Ada perasaan cemas, apakah karyaku akan bisa mewakili kemegahan sebuah institusi? apakah bisa menampung aspirasi dari sekian banyak pegawai? apakah bisa? apakah bisa?
Tapi jujur saja, setelah logo ditayangkan, yang dominan adalah rasa cemas apakah logo-ku adalah sebuah karya yang layak untuk menyandang beban berat institusi.
“Dari mana ide untuk membuat logo ini?” tanya Mas Tugiran.
Wah, dari mana ya? Bahkan setelah browsing sana-sini mencari referensi, mencari inspirasi, merenung-renung sampai waktu yang ditentukan tinggal beberapa hari, belum juga ada ide apapun. Akhirnya, entah dari mana, tengah malam ketika sedang mereka-reka logo di komputer, nyelonong juga ide yang sederhana ini menurutku.
Ide dasarnya adalah logo harus berkesan dinamis. Karena kata ‘proaktif’ pada visi BPKP menggambarkan sifat yang dinamis, penuh dengan energi, penuh dengan semangat. Selain itu harus ada bagian yang ujungnya bertemu untuk melambangkan bermuaranya tujuan, sebuah sinergi untuk menggapai cita-cita mewujudkan good governance. Akhirnya, aku memutuskan untuk memiringkan logo, untuk menggambarkan sifat dinamis, dengan memangkas desain awal logo yang kubuat.
“Kenapa tulisan BPKP-nya pake huruf kecil?”
Waduh, sebuah pertanyaan yang di luar dugaan. Soalnya, anakku yang berusia hampir sepuluh tahun pernah protes dengan pertanyaan yang sama ketika menemaniku memoles logo. “Kan, bagus pake huruf besar, Yah?” katanya.
Iya, kenapa aku memilih huruf kecil ya? Mungkin karena huruf kecil lebih bagus dari sisi estetika, dari sudut pandangku tentunya. Ada nuansa dinamika di dalamnya.
Atau, tanpa kusadari, karena aku di bidang APD, sebuah nilai kesetaraan lebih bermakna. Iya lho, ketika sedang melakukan sebuah asistensi di pemda, untuk mendapatkan data atau informasi saja susahnya minta ampun. Mereka cenderung menutup diri. Tampaknya BPKP masih terkesan sangar bagi mereka. Lah, bagaimana mau membangun sebuah sinergi kalau ada pihak yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran kita?
“Menurut sampeyan, bagaimana dengan logo-logo lain yang ikut lomba ini”
Mas Tugiran menyodorkan gambar-gambar logo di komputernya.
Wah-wah, lagi-lagi pertanyaan yang sulit buat saya. Apa cukup kompetensi saya untuk menilai logo lain?
“Gimana Mas?”
Tidak ada tempat untuk menghindar rupanya.. akhirnya, kuamati juga logo-logo yang terpampang. Dari sisi teknis pembuatan, menurutku, sebagian besar peserta memiliki kemampuan yang lebih baik dariku. Lebih bagus, kurasa. Bukan basa-basi lho….
“Ada hal lain yang mau disampaikan?”
He..he.. apa ya? Ya itu tadi, sejak semula aku sadari bahwa apa yang kubuat tidak mungkin bisa mewakili, menampung, menyalurkan semua ide, keinginan, harapan, citarasa seni dari seluruh teman-teman yang mencintai BPKP ini. Maklum, aku masih cubluk (kurang pengetahuan-red), aku bukan orang yang pintar, apalagi cukup punya kemampuan untuk itu.
Tentunya masih banyak kekurangan yang melekat pada logo yang kubuat. Karena itu, sangat mungkin bagi teman-teman yang mempunyai kelebihan untuk menutup kekurangan itu.
Tabik.
***
“Mas, ngimpi apa semalem?”
“Wah, ndak ngimpi apa-apa tuh…”
“Sampeyan menang lomba logo lho...”
Sepenggal dialog dengan Mas Tugiran dari Biro Hukum dan Humas masih terngiang di telinga sepanjang perjalanan yang cukup melelahkan dari Bombana ke Kendari.
Siang itu aku harus berpacu dengan waktu mengejar pesawat terakhir menuju Jakarta.
Menang lomba logo yang diadakan kantor untuk mengganti logo yang lama adalah sebuah kejutan yang mendebarkan. Bagaimana tidak? Logo akan terpampang di kop surat, di dokumen-dokumen, di unit-unit organisasi, uh.. banyak orang akan melihat, menilai, mengomentari….
Duk, sebuah guncangan yang cukup keras, di antara begitu banyaknya guncangan di sepanjang jalan yang kondisinya memprihatinkan, memecah lamunanku. Heeemh… aku menghembuskan nafas panjang, berusaha meringankan beban yang menyesak di dada.
***
“Mas, wawancara ya buat Warta?” tanya Mas Ardhi, wartawan Warta Pengawasan, sambil melorotkan kacamatanya.
“He..he.., saya ini ndak bisa ngomong Mas.. apalagi diwawancarai..” aku berusaha ngeles, karena jujur saja aku tidak ingin diwawancarai untuk sebuah publikasi terkait dengan kemenangan ini.
“Ayolah, sekedar mengungkapkan kesan saja..” sambung Mas Tugiran, sang wartawan murah senyum.
Wah, ini dia, justru mengungkapkan kesan ini hal yang paling sulit. Kan, ini menyangkut perasaan di luar dari yang biasanya..
Apa mau dikata, akhirnya harus kujalani juga wawancara ini….
***
“Bagaimana perasaan waktu menerima kabar kalau sampeyan menang?”
“Apa ada firasat untuk menang?”
Waduh, bagaimana menjawabnya? “Biasa aja Mas...” jawabku.
Biasa bagaimana? Lha iyalah, kalau hanya kabar menang sih sudah biasa, kan waktu membuat logo dengan harapan untuk menang, walaupun berdebar-debar juga.
Tapi sebenarnya yang paling berkesan adalah ketika logo dibuka saat acara seremonial ulang tahun. Uh, perasaan bercampur baur tak karuan….
Ada perasaan haru, karena hasil karyaku dengan disaksikan banyak orang dibuka Kepala BPKP sambil diiringi suara sirine dan gamelan Bali….
Ada perasaan cemas, apakah karyaku akan bisa mewakili kemegahan sebuah institusi? apakah bisa menampung aspirasi dari sekian banyak pegawai? apakah bisa? apakah bisa?
Tapi jujur saja, setelah logo ditayangkan, yang dominan adalah rasa cemas apakah logo-ku adalah sebuah karya yang layak untuk menyandang beban berat institusi.
“Dari mana ide untuk membuat logo ini?” tanya Mas Tugiran.
Wah, dari mana ya? Bahkan setelah browsing sana-sini mencari referensi, mencari inspirasi, merenung-renung sampai waktu yang ditentukan tinggal beberapa hari, belum juga ada ide apapun. Akhirnya, entah dari mana, tengah malam ketika sedang mereka-reka logo di komputer, nyelonong juga ide yang sederhana ini menurutku.
Ide dasarnya adalah logo harus berkesan dinamis. Karena kata ‘proaktif’ pada visi BPKP menggambarkan sifat yang dinamis, penuh dengan energi, penuh dengan semangat. Selain itu harus ada bagian yang ujungnya bertemu untuk melambangkan bermuaranya tujuan, sebuah sinergi untuk menggapai cita-cita mewujudkan good governance. Akhirnya, aku memutuskan untuk memiringkan logo, untuk menggambarkan sifat dinamis, dengan memangkas desain awal logo yang kubuat.
“Kenapa tulisan BPKP-nya pake huruf kecil?”
Waduh, sebuah pertanyaan yang di luar dugaan. Soalnya, anakku yang berusia hampir sepuluh tahun pernah protes dengan pertanyaan yang sama ketika menemaniku memoles logo. “Kan, bagus pake huruf besar, Yah?” katanya.
Iya, kenapa aku memilih huruf kecil ya? Mungkin karena huruf kecil lebih bagus dari sisi estetika, dari sudut pandangku tentunya. Ada nuansa dinamika di dalamnya.
Atau, tanpa kusadari, karena aku di bidang APD, sebuah nilai kesetaraan lebih bermakna. Iya lho, ketika sedang melakukan sebuah asistensi di pemda, untuk mendapatkan data atau informasi saja susahnya minta ampun. Mereka cenderung menutup diri. Tampaknya BPKP masih terkesan sangar bagi mereka. Lah, bagaimana mau membangun sebuah sinergi kalau ada pihak yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran kita?
“Menurut sampeyan, bagaimana dengan logo-logo lain yang ikut lomba ini”
Mas Tugiran menyodorkan gambar-gambar logo di komputernya.
Wah-wah, lagi-lagi pertanyaan yang sulit buat saya. Apa cukup kompetensi saya untuk menilai logo lain?
“Gimana Mas?”
Tidak ada tempat untuk menghindar rupanya.. akhirnya, kuamati juga logo-logo yang terpampang. Dari sisi teknis pembuatan, menurutku, sebagian besar peserta memiliki kemampuan yang lebih baik dariku. Lebih bagus, kurasa. Bukan basa-basi lho….
“Ada hal lain yang mau disampaikan?”
He..he.. apa ya? Ya itu tadi, sejak semula aku sadari bahwa apa yang kubuat tidak mungkin bisa mewakili, menampung, menyalurkan semua ide, keinginan, harapan, citarasa seni dari seluruh teman-teman yang mencintai BPKP ini. Maklum, aku masih cubluk (kurang pengetahuan-red), aku bukan orang yang pintar, apalagi cukup punya kemampuan untuk itu.
Tentunya masih banyak kekurangan yang melekat pada logo yang kubuat. Karena itu, sangat mungkin bagi teman-teman yang mempunyai kelebihan untuk menutup kekurangan itu.
Tabik.
***
Wednesday, December 28, 2005
Perahu..
Subscribe to:
Posts (Atom)